Oleh : Muflih Fuadi - Biologi Unsoed

Gunung Slamet pada mulanya dianggap benteng biodiversitas terakhir yang ada di ujung barat Jawa Tengah oleh kalangan akademisi maupun kalangan pecinta alam. Gunung Slamet seolah-olah menjadi laboratorium alam dengan hutan hujan tropisnya serta pemandangan alamnya yang masih perawan. Namun, siapa sangka akhir-akhir ini Gunung Slamet kian tidak Selamat. Diawali dengan keresahan warga di sekitaran curug Cipendok beserta Daerah Aliran Sungai (DAS) kali Prukut, serta 13 desa di tiga kecamatan lain, tulisan ini akhirnya lahir. Keresahan ini muncul karena pencemaran air yang masif di kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, terutama di desa-desa yang berbatasan langsung dengan hutan dan mengandalkan suplai air dari sungai dan mata air yang berhulu di lereng selatan gunung Slamet. Lalu, siapakah sebenarnya yang ada dibalik pencemaran air yang menimbulkan keresahan ini?. Usut punya usut ternyata ada korporasi besar yang menggarap megaproyek senilai Rp 7 triliun. Adalah PT Sejahtera Alam Energy (SAE) yang secara de facto bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan ini. Tak hanya itu, “kabar gembiranya” PT SAE ini bekerja sama dengan korporasi elite luar negeri yang bergerak di industri energi yaitu STEAG Energy dari Jerman. Lalu seperti apakah keresahan yang ada di masyarakat?.
Keresahan ini bukan tanpa alasan logis. Air yang tercemar oleh material dari pembukaan 7000 ha (dan akan terus bertambah) lahan hutan lindung secara masif dalam rangka pembuatan infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) membuat warga merana. Air bagi sebagian warga yang tinggal di desa desa terdampak oleh proyek ini merupakan sarana produksi dasar bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Banyak peternak ayam, pembudidaya ikan, petani dan pekebun, yang sangat terdampak dengan tercemarnya air dari sungai dan mata air yang ada (coba tonton film Banyu Buthek produksi AJI Purwokerto). Kalau kita cermati lagi, air bagi mereka ini adalah modal dasar tetap untuk berproduksi secara ekonomi dan social (fixed capital kalau kata Marx). Dengan tercemarnya air otomatis para produsen ini (Peternak, pekebun, petani) mengalami kesulitan produksi yang signifikan.

Contoh nyatanya adalah kenaikan jumlah kematian ayam yang dialami peternak, kesulitan pemijahan Ikan dewa, dan kesulitan warga dalam mengakses air bersih. Untuk mengatasi hal ini, sebagian dari mereka mengganti air yang biasanya didapat secara cuma-cuma dari aliran sungai dan mata air dengan air dari sumur. Artinya, masyarakat pada umumnya mengalami kerugian nyata yang harus segera diatasi secara simultan. Sedangkan bagi yang berperan sebagai produsen, produk riil ini adalah pencerabutan secara tidak langsung (indirect enclosure) dari mata pencahariannya. Memang saat ini setelah ditinjau oleh Bupati Banyumas, ada tindakan yang bersifat penanggulangan sementara akan hal ini. Pembuatan dam dan embung dengan filter material di daerah yang sedang di buka hutannya diklaim efektif oleh PT SAE untuk mengatasi keruhnya air.
Hal ini secara ekologis menjadi bom waktu yang sangat berbahaya. Dam yang dibangun sebagai kolam sedimen material ini di bangun secara remanen. Artinya, bangunan ini akan melapuk seiring berjalannya waktu, apalagi bangunan ini akan tersentuh oleh air yang melarutkan material sepanjang waktu. Tentu pelapukan akan jauh lebih cepat terjadi. Jika bangunan ini lapuk lalu hancur, apa yang terjadi dengan desa desa dibawahnya? Jawabannya adalah banjir bandang. Uniknya metode metode biofilter yang menggunakan banyak spesies tumbuhan yang berjenjang untuk mereduksi kandungan material dalam air, malah tidak dipilih sebagai metode penanggulangan yang lebih efektif dan aman bagi masalah ini. Mengapa? Jawabannya adalah metode ini dianggap “mahal” oleh pengembang.
Berkaitan dengan indirect enclosure, ada baiknya kita berkaca pada Lean Alejandro. Menurut Lean, indirect enclosure adalah proses pencerabutan secara perlahan dan berjenjang terhadap produsen dari seluruh faktor-faktor produksi mulai dari factor sekunder sampai factor produksi primer oleh kapital yang paling besar. Pencerabutan ini bermaksud untuk melemahkan produsen-produsen produk riil dengan berbagai cara agar para produsen ini takluk kepada capital sehingga tidak ada persaingan dalam menggunakan sumber daya yang ada sebagai modal dasar tetap bagi pemilik modal yang berkuasa. Berkaca dari hal ini, artinya PT SAE dan kroni luar negerinya setidaknya terindikasi untuk menguasai sumberdaya alam dan manusia yang ada disekitaran daerah eksplorasinya. Betapa tidak, dengan menguasai sumber daya alam, terutama air dan hutan / tanah (akumulasi primitive) korporasi akan dimudahkan untuk akses bahan baku produksi. Tak lupa, dengan tercerabutnya faktor-faktor produksi dari para produsen, otomatis membuat produsen yang tadinya berdikari akan kehilangan factor produksi tersebut (Terutama air dan tanah), otomatis mereka akan menjadi pasar tenaga kerja yang melimpah dan murah. Sebuah keuntungan lagi bagi korporasi.
Tak berhenti sampai disitu, masih ada aspek lain yang tak kalah penting. Aspek ekologis juga merupakan salah satu aspek dasar yang terciderai paling parah dengan adanya proyek ini. Masyarakat perlu tahu bahwa hutan di gunung Slamet (baik Hutan lindung, hutan produksi terbatas, maupun hutan produksi) adalah rumah alami bagi 91 spesies tumbuhan, 33 spesies mamalia kecil (khususnya rodentia, chiroptera), 12 mamalia besar (termasuk Panthera pardus melas) 24 spesies reptilian, 6 spesies serangga langka, 85 spesies gastropoda, dan 11 amfibia (termasuk Megophrys montana). Data ini adalah data tahun 2009, artinya masih banyak spesies lain yang belum teridentifikasi. Sebagai laboratorium alam yang belum selesai dibukukan dalam bentuk data base terperinci, sebuah kerugian besar kiranya jika ekosistem ini rusak sebelum terdokumentasikan dengan baik dan benar. Selain itu, kita juga belum tahu potensi dari aspek ekologi dan ekonomi spesies yang sudah serta belum teridentifikasi. Ajaibnya, Hutan Slamet juga menyimpan satu spesies indigeneous yaitu Bulbophyllum truncatum. Anggrek epifit ini adalah tumbuhan khas dari hutan Slamet.

Jadi, bagaimana keberadaan spesies ini jika lereng selatan gunung Slamet saja sudah di buka seluas 7000 ha?. Dengan demikian Slamet menyimpan biodiversitas yang begitu tinggi dan layak dilindungi. Biodiversitas ini juga meliputi kerumitan interaksi relung relung ekologis yang ada didalamnya. Kerumitan interaksi ekologis terseut merupakan komponen utama ketahanan ekosistem terhadap kerusakan yang disebut “daya lentimg” ekosistem. Daya lenting ini diidentifikasikan oleh para ekolog sebagai kemampuan ekosistem untuk memulihkan diri dari gangguan ekologis yang ada selama eksistensi ekosistem itu. Pertanyannya bagaimana kondisi ekosistem gunung Slamet saat ini jika komponen inti “daya lenting” ini sudah rusak parah? Lucunya PT SAE dengan kroninya mengklaim bahwa proyek ini hanya mengganggu ekosistem hutan Slamet dalam batas minimal padahal sampai saat ini belum ada ekolog-ekolog yang mampu menghitung secara kuantitaif dengan perhitungan matematis rigid seberapa besar “daya lenting” lingkungan. Menyedihkan pula, masih minimnya biolog-biolog Indonesia (terutama ekolog) yang memetakan dan mengidentifikasi biodiversitas hutan gunung Slamet dan menyimpannya sebagai data base ilmiah yang komperehensif. Sebuah ketelenjangan borok intelektual di Republik ini.
Lalu, apa yang akan kita lakukan untuk gunung Slamet dan warga yang terdampak hari ini?. Jawabannya ada dibenak masing masing yang membaca tulisan ini. Namun ada banyak hal yang bisa dilakukan saat ini. Segeralah berjejaring, mengumpulkan data dan membuat analisis komperehensif dan holistic tentang geothermal. Lalu segera turun ke basis, organisirlah seluruh elemen masyarakat dan mulailah perlawanan terhadap rezim dan korporasi untuk Slamet yang sedang tidak baik baik saja. Oh ya, yang terakhir selalu berhati-hati dengan pasal 73 dan 74 UU 21 Tahun 2014 tentang panas bumi agar tidak segera dikriminalisasi.
Kepustakaan :
Alejandro, Lean. Tanpa tahun. Tanpa penerbit. Kumpulan essay Lean Alejandro.
Marx, Karl. 2004. Hastra Mitra. Das Kapital.
Mulyanto, Dede. 2012. Resist. Genealogi Kapitalisme. Yogyakarta.
Rin Maharning, Ardini. 2014. UNSOED. Materi Ekologi Dasar. Purwokerto.
Van Steenis, C.G.G.J. 2010. LIPI. Flora Pegunungan Jawa. Bogor.
Sejumlah jurnal ekologi dari UNSOED, UGM, dan IPB.