LPM Memi FEB UNSOED

Laman

Kamis, 25 Mei 2017

MISTERI CALON DEKAN FEB TERKUAK

LPM Memi- Purwokerto, Kamis (25/5) Gelap tanya siapa kandidat Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Jendral Soedirman (Unsoed), akhirnya terjawab. Ialah Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Pemasaran, Prof. Dr. Suliyanto, SE., MM, sebagai satu-satunya Calon Dekan FEB Unsoed masa kerja 2017-2021.

Selasa kemarin, bertempat di Gedung Roedhiro Lantai 3, pihaknya telah menyelenggarakan pemaparan visi dan misi, serta program kerjanya, yang nantinya dilanjutkan dengan agenda Penetapan Calon Dekan oleh Senat FEB beserta Rektor Unsoed. 

Minggu, 07 Mei 2017

Info tentang KKN periode Juli-Agustus 2017.

Info tentang KKN periode Juli-Agustus 2017.

•Pendaftaran KKN: 15-24 Mei 2017
•Pembekalan Proses Klot 1, 2, dan 3: 3-4, 10-11, 17-18 Juni
•Sosialisasi KKN ke Desa-Desa: 17-25 Mei
•Plotting Mhs KKN ke Desa-Desa: 26 Mei-selesai
•Pembekalan Materi Isi: 8-9 Juli dan 15-16 Juli
•Ujian Pembekalan KKN: Sabtu, 22 Juli
•Upacara Pelepasan KKN: Senin, 24 Juli
•Pemberangkatan KKN: Rabu, 25 Juli s.d. 28 Agustus


Pendaftaran dan Plotting KKN :
1. Entry data mahasiswa online termasuk memilih jenis KKN dan lokasi KKN yang diinginkan
2. Copy kwitansi pembayaran dan hasil cetak pendaftaran dikumpulkan ke Bappendik dan nantinya akan diteruskan ke LPPM
3. Selain itu mahasiswa menyiapkan biaya operasional KKN (dibawa mahasiswa), meliputi: 
-biaya hidup MINIMAL Rp 875.000
-program Rp 50.000
-transport ke lokasi PP Rp 50.000
4. Mahasiswa memilih lokasi sampai tingkat kecamatan, plotting per desa dilakukan LPPM untuk pemerataan fakultas



PTN BLU - Unsoed - UEPT

Oleh: Ramdani Laksono (Tim Anti Pungli-Pungli Club)


Syarat kelulusan dikampus Unsoed kini bertambah, bukan hanya harus mencetak tugas akhir namun juga harus dinyatakan lulus dalam kompetensi bahasa inggris Unsoed English Profiency Test (UEPT).  Melalu norma hukum (deurhatig) Peraturan Rektor No. 23 Tahun 2016 tentang Unsoed English Profiency Test (UEPT) Universitas Jenderal Soedirman, maka syarat lulus melalui serangkaian tes kemampuan bahasa inggris harus wajib dikantongi jika ingin duduk dikursi para wisudawan dan disalami oleh Rektor. Sebelum nyinyir perihal dampak (bisa positif atau negatif) atas keberlakukan UEPT ini, maka penting terlebih dahulu mendudukan kebijakaan ini dalam ranah hukum, agar nyinyir kita selalu dalam lindungan logika dan akal sehat. 

Sebagai sebuah PTN dengan sistem Badan Layanan Umum, Unsoed dapat memungut biaya atas jasa layanan yang diberikan kepada mahasiswanya. Singkat saja, UEPT merupakan jasa layanan yang diberikan Unsoed kepada mahasiswanya. Oleh karena itu, Unsoed memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif jasa layanan yang diberikan kepada mahasiswannya, sebut saja Rp 50.000 yang kemudian secara siluman naik menjadi Rp 60.000 (belum biaya-biaya lain, semisal Rp 5000 untuk surat keterangan lulus apabila sertifikat belum jadi yang diperlukan bagi siapa ingin seminar skripsi dan/atau pendadaran). Syahdan, penetapan tarif Rp 50.000 yang dikemudian menjadi Rp 60.000 itulah yang menjadi kejanggalan. Pengaturan terkait penetapan tarif jasa layanan diatur dalam PP No. 23 tahun 2005 yang kemudian dirubah menjadi PP 74 Tahun 2012, dan diatur dalam aturan teknis setingkat Permenkeu No 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum. 

Pada umumnya penetapan tarif layanan pada PTN BLU dapat dilakukan dengan 2 cara, pertama melalui serangkaian proses yang birokratis melalui Kementrian Keuangan selaku pembina perihal keuangan dalam penyelenggaraan PTN BLU. Sebelum mendapatkan nominal tarif layanan yang akan dibebankan kepada mahasiswa, Rektor PTN BLU wajib memberikan usulan tarif layanan kepada Menteri Keuangan (Pasal 5 Permenkeu No 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum) . Selebihnya Kementrian Keuangan lah yang punya kuasa untuk menolak atau menerima usulan tarif layanan yang diusulkan oleh Rektor PTN BLU. Apabila usulan tarif yang diusulkan oleh Rektor PTN BLU disetujui oleh Menteri Keuangan, menurut Pasal 8 ayat 3 Permenkeu No 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum maka penetapan tarif tersebut dituangkan dalam peraturan menteri keuangan (coba periksa Permenkeu No. 148/PMK. 05/2016 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Unsoed). Kedua, melalui penetapan tarif layanan secara mandiri oleh Rektor atas dasar pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh Menteri Keuangan. Pelimpahan kewenangan penetapan tarif secara mandiri yang didapat Rektor PTN BLU harus melalui usulan terlebih dahulu yang diberikan kepada Menteri Keuangan. Menurut Pasal 10 ayat (3) Permenkeu No 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum, penetapan tarif layanan secara mandiri oleh Rektor PTN BLU juga harus dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Apabila melihat kedua cara penetapan tarif layanan pada PTN BLU, dapat diberi suatu gambaran. Menteri Keuangan memiliki kendali penuh atas penetapan tarif yang dilakukan oleh PTN BLU, baik yang dilakukan melalui serangkaian proses yang birokratis maupun yang dilakukan secara mandiri oleh Rektor. Intrumen hukum atas penetapan tarif layanan PTN BLU dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. 

Berbagai ketentuan diatas patut dijadikan tembakan untuk menganalisa kebijakan UEPT di Unsoed. Apabila mengacu pada cara yang pertama dalam menentukan tarif layanan Unsoed (PTN BLU), maka seharusnya tarif Rp 60.000 yang merupakan tarif UEPT yang wajib dibayarkan oleh mahasiswa Unsoed tercantum dalam Lampiran Permenkeu No. 148/PMK. 05/2016 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Unsoed. Patut disayangkan, lampiran permenkeu diatas tidak satupun ditemukan tarif layanan yang mengatasnamakan UEPT. Sampai disini kita tidak boleh berburuk sangka kepada Unsoed, mari kita beranjak move on dari mantan hanya karena di chat “kangen”, maaf maksud saya beranjak menganalisa memakai cara penetapan tarif yang kedua. Cara yang kedua dalam menentukan tarif layanan PTN BLU dapat dilakukan secara mandiri oleh Rektor, namun tetap harus dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif layanan. Sekali lagi kita harus memeriksa dengan lebih teliti Permenkeu No. 148/PMK. 05/2016 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Unsoed beserta Lampirannya. Setelah diteliti lebih dalam, sedalam dendam kepada mantan karena diputusin padahal lagi sayang-sayangnya, patut disayangkan tidak ditemukan satu pasal pun yang mengamanatkan rektor dapat menentukan tarif secara mandiri dan tidak ditemukan satu pasal pun yang mengatur tarif layanan UEPT di Unsoed. Sampai sini, anda-anda boleh nyinyir. Apakah Rp 60.000 yang diwajibkan Unsoed itu “legal”? 

Apabila menggunakan alat analisa seperti yang saya tuliskan tentunya Rp 60.000 itu “ilegal” alias “pungli”. Saya mengatakan demikian karena saya merupakan anggota dari komunitas sosial“anti pungli-pungli club”. Ini serius nih, karena Unsoed tidak menghiraukan ketentuan-ketentuan yang ada terkait penetapan tarif layanan pada PTN BLU.  Kementerian Keuangan dalam penyelenggaraan PTN BLU mempunyai kedudukan yang strategis untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dalam hal keuangan. Oleh karena itu, semua hal yang menyangkut keuangan PTN BLU harus punya izin dari Sri Mulyani. Nikahin kamu aja harus dapet restu dari bapak dan emak mu kan, apalagi ini, menyangkut peredaran uang negara dan penyelenggaraan pendidikan yang katanya bertujuan “mencerdasarkan bangsa” maka harus dibina dan diawasi secara ketat. Pada akhirnya saya harus mengatakan, bahwa kebijakan UEPT adalah “ilegal” dan harus segera dicabut oleh Unsoed. Hal ini saya katakan karena saya perduli sama Unsoed, eh bukan “malas amat perduli ama elu” karena saya perduli sama kebenaran dan perduli sama kawan2 yang kena rugi karena UEPT, jadi tertunda lulusnya begitupun nikahnya, huft.

Minggu, 30 April 2017

CATATAN BULANAN EDISI APRIL

Untuk lebih jelas buka https://drive.google.com/open?id=0B0efrtwcOi4JN2xkTm5GQWpzbG8















Senin, 24 April 2017

GUNUNG SLAMET YANG TAK LAGI SELAMAT (Sebuah cericau PLTP Baturraden)

Oleh : Muflih Fuadi - Biologi Unsoed




Gunung Slamet pada mulanya dianggap benteng biodiversitas terakhir yang ada di ujung barat Jawa Tengah oleh kalangan akademisi maupun kalangan pecinta alam. Gunung Slamet seolah-olah menjadi laboratorium alam dengan hutan hujan tropisnya serta pemandangan alamnya yang masih perawan. Namun, siapa sangka akhir-akhir ini Gunung Slamet kian tidak Selamat. Diawali dengan keresahan warga di sekitaran curug Cipendok beserta Daerah Aliran Sungai (DAS) kali Prukut, serta 13 desa di tiga kecamatan lain, tulisan ini akhirnya lahir. Keresahan ini muncul karena pencemaran air yang masif di kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, terutama di desa-desa yang berbatasan langsung dengan hutan dan mengandalkan suplai air dari sungai dan mata air yang berhulu di lereng selatan gunung Slamet. Lalu, siapakah sebenarnya yang ada dibalik pencemaran air yang menimbulkan keresahan ini?. Usut punya usut ternyata ada korporasi besar yang menggarap megaproyek senilai Rp 7 triliun. Adalah PT Sejahtera Alam Energy (SAE) yang secara de facto bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan ini. Tak hanya itu, “kabar gembiranya” PT SAE ini bekerja sama dengan korporasi elite luar negeri yang bergerak di industri energi yaitu STEAG Energy dari Jerman. Lalu seperti apakah keresahan yang ada di masyarakat?. 

Keresahan ini bukan tanpa alasan logis. Air yang tercemar oleh material dari pembukaan 7000 ha (dan akan terus bertambah) lahan hutan lindung secara masif dalam rangka pembuatan infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) membuat warga merana. Air bagi sebagian warga yang tinggal di desa desa terdampak oleh proyek ini merupakan sarana produksi dasar bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Banyak peternak ayam, pembudidaya ikan, petani dan pekebun, yang sangat terdampak dengan tercemarnya air dari sungai dan mata air yang ada (coba tonton film Banyu Buthek produksi AJI Purwokerto). Kalau kita cermati lagi, air bagi mereka ini adalah modal dasar tetap untuk berproduksi secara ekonomi dan social (fixed capital kalau kata Marx). Dengan tercemarnya air otomatis  para produsen ini (Peternak, pekebun, petani) mengalami kesulitan produksi yang signifikan. 

Contoh nyatanya adalah kenaikan jumlah kematian ayam yang dialami peternak, kesulitan pemijahan Ikan dewa, dan kesulitan warga dalam mengakses air bersih. Untuk mengatasi hal ini, sebagian dari mereka mengganti air yang biasanya didapat secara cuma-cuma dari aliran sungai dan mata air dengan air dari sumur. Artinya, masyarakat pada umumnya mengalami kerugian nyata yang harus segera diatasi secara simultan. Sedangkan bagi yang berperan sebagai produsen, produk riil ini adalah pencerabutan secara tidak langsung (indirect enclosure) dari mata pencahariannya. Memang saat ini setelah ditinjau oleh Bupati Banyumas, ada tindakan yang bersifat penanggulangan sementara akan hal ini. Pembuatan dam dan embung dengan filter material di daerah yang sedang di buka hutannya diklaim efektif oleh PT SAE untuk mengatasi keruhnya air.

  Hal ini secara ekologis menjadi bom waktu yang sangat berbahaya. Dam yang dibangun sebagai kolam sedimen material ini di bangun secara remanen. Artinya, bangunan ini akan melapuk seiring berjalannya waktu, apalagi bangunan ini akan tersentuh oleh air yang melarutkan material sepanjang waktu. Tentu pelapukan akan jauh lebih cepat terjadi. Jika bangunan ini lapuk lalu hancur, apa yang terjadi dengan desa desa dibawahnya? Jawabannya adalah banjir bandang. Uniknya metode metode biofilter yang menggunakan banyak spesies tumbuhan yang berjenjang untuk mereduksi kandungan material dalam air, malah tidak dipilih sebagai metode penanggulangan yang lebih efektif  dan aman bagi masalah ini. Mengapa? Jawabannya adalah metode ini dianggap “mahal” oleh pengembang.       

Berkaitan dengan indirect enclosure, ada baiknya kita berkaca pada Lean Alejandro. Menurut Lean, indirect enclosure adalah proses pencerabutan secara perlahan dan berjenjang terhadap produsen dari seluruh faktor-faktor produksi mulai dari factor sekunder sampai factor produksi primer oleh kapital yang paling besar. Pencerabutan ini bermaksud untuk melemahkan produsen-produsen produk riil dengan berbagai cara agar para produsen ini takluk kepada capital sehingga tidak ada persaingan dalam menggunakan sumber daya yang ada sebagai modal dasar tetap bagi pemilik modal yang berkuasa. Berkaca dari hal ini, artinya PT SAE dan kroni luar negerinya setidaknya terindikasi untuk menguasai sumberdaya alam dan manusia yang ada disekitaran daerah eksplorasinya. Betapa tidak, dengan menguasai sumber daya alam, terutama air dan hutan / tanah (akumulasi primitive) korporasi akan dimudahkan untuk akses bahan baku produksi. Tak lupa, dengan tercerabutnya faktor-faktor produksi dari para produsen, otomatis membuat produsen yang tadinya berdikari akan kehilangan factor produksi tersebut (Terutama air dan tanah), otomatis mereka akan menjadi pasar tenaga kerja yang melimpah dan murah. Sebuah keuntungan lagi bagi korporasi.

Tak berhenti sampai disitu, masih ada aspek lain yang tak kalah penting. Aspek ekologis juga merupakan salah satu aspek dasar yang terciderai paling parah dengan adanya proyek ini. Masyarakat perlu tahu bahwa hutan di gunung Slamet (baik Hutan lindung, hutan produksi terbatas, maupun hutan produksi) adalah rumah alami bagi 91 spesies tumbuhan, 33 spesies mamalia kecil (khususnya rodentia, chiroptera), 12 mamalia besar (termasuk Panthera pardus melas) 24 spesies reptilian, 6 spesies serangga langka, 85 spesies gastropoda, dan 11 amfibia (termasuk Megophrys montana). Data ini adalah data tahun 2009, artinya masih banyak spesies lain yang belum teridentifikasi. Sebagai laboratorium alam yang belum selesai dibukukan dalam bentuk data base terperinci, sebuah kerugian besar kiranya jika ekosistem ini rusak sebelum terdokumentasikan dengan baik dan benar. Selain itu, kita juga belum tahu potensi dari aspek ekologi dan ekonomi spesies yang sudah serta belum teridentifikasi. Ajaibnya, Hutan Slamet juga menyimpan satu spesies indigeneous yaitu Bulbophyllum truncatum. Anggrek epifit ini adalah tumbuhan khas dari hutan Slamet. 

Jadi, bagaimana keberadaan spesies ini jika lereng selatan gunung Slamet saja sudah di buka  seluas 7000 ha?. Dengan demikian Slamet menyimpan biodiversitas yang begitu tinggi dan layak dilindungi. Biodiversitas ini juga meliputi kerumitan interaksi relung relung ekologis yang ada didalamnya. Kerumitan interaksi ekologis terseut merupakan komponen utama ketahanan ekosistem terhadap kerusakan yang disebut  “daya lentimg” ekosistem. Daya lenting ini diidentifikasikan oleh para ekolog sebagai kemampuan ekosistem untuk memulihkan diri dari gangguan ekologis yang ada selama eksistensi ekosistem itu. Pertanyannya bagaimana kondisi ekosistem gunung Slamet saat ini jika komponen inti “daya lenting” ini sudah rusak parah? Lucunya PT SAE dengan  kroninya mengklaim bahwa proyek ini hanya mengganggu ekosistem hutan Slamet dalam batas minimal padahal sampai saat ini belum ada ekolog-ekolog yang mampu menghitung secara kuantitaif dengan perhitungan matematis rigid seberapa besar “daya lenting” lingkungan. Menyedihkan pula, masih minimnya biolog-biolog Indonesia (terutama ekolog) yang memetakan dan mengidentifikasi biodiversitas  hutan gunung Slamet dan menyimpannya sebagai data base ilmiah yang komperehensif. Sebuah ketelenjangan borok intelektual di Republik ini. 

Lalu, apa yang akan kita lakukan untuk gunung Slamet dan warga yang terdampak hari ini?. Jawabannya ada dibenak masing masing yang membaca tulisan ini. Namun ada banyak hal yang bisa dilakukan saat ini. Segeralah berjejaring, mengumpulkan data dan membuat analisis komperehensif dan holistic tentang geothermal. Lalu segera turun ke basis, organisirlah seluruh elemen masyarakat dan mulailah perlawanan terhadap rezim dan korporasi untuk Slamet yang sedang tidak baik baik saja. Oh ya, yang terakhir selalu berhati-hati dengan pasal 73 dan 74 UU 21 Tahun 2014 tentang panas bumi agar tidak segera dikriminalisasi.


Kepustakaan :  

Alejandro, Lean. Tanpa tahun. Tanpa penerbit. Kumpulan essay Lean Alejandro.

Marx, Karl. 2004. Hastra Mitra. Das Kapital.

Mulyanto, Dede. 2012. Resist. Genealogi Kapitalisme. Yogyakarta.

Rin Maharning, Ardini. 2014. UNSOED. Materi Ekologi Dasar. Purwokerto.

Van Steenis, C.G.G.J. 2010. LIPI. Flora Pegunungan Jawa. Bogor.

Sejumlah jurnal ekologi dari UNSOED, UGM, dan IPB.

Minggu, 12 Maret 2017

Kegemasan Pendistribusian Dana Organisasi Kemahasiswaan FEB


Bulan Maret ini menjadi awal kepengurusan organisasi kemahasiswaan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unsoed. Kebutuhan organisasi seperti recruitment, program kerja (Proker), dan pendanaan menjadi hal krusial yang harus dipenuhi di awal kepengurusan. Dependensi organisasi kemahasiswaan salah satunya adalah dengan adanya sumber pendana dari Fakultas. Fakultas sebagai turunan dari Perguruan Tinggi, menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan, sebagaimana yang telah tertuang dalam Pasal 77 ayat 4 UU Pendidikan Tinggi.


Senin, 06 Maret 2017

Keabu-Abuan Polemik Pungli Pelepasan Di Unsoed


“Beberapa waktu lalu, saya sudah membagikan Surat Edaran ke seluruh Fakultas agar tidak menarik atau memungut biaya apapun diluar UKT,” ujar Rektor Unsoed Achmad Iqbal.

Purwokerto, LPM Mёmi – Senin (06/03) Setelah Advokasi BEM Unsoed melayangkan Surat Audiensi terkait indikasi pungli pelepasan mahasiswa Jumat (03/03) lalu, akhirnya pihak Rektorat mengaminkan audiensi pada pagi tadi pukul 10.00 WIB. BEM Unsoed beserta BEM Fakultas se-Unsoed dan beberapa mahasiswa dari FH, FEB, Fisip, FIB, Faperta, FPIK, Fikes, dan Fabio menghadiri audiensi yang terkesan dadakan ini. “Balasan konfirmasi dari pihak Rektorat sangat mendadak, hanya melalui telepon kepada Wapres BEM Unsoed satu setengah jam sebelum audiensi,”  ujar Rizky B Aritonang selaku Menteri Advokasi BEM Unsoed.